Ucapanseorang guru haruslah bersifat "sabda pandita ratu tan kena wola wali", tetap dan mengikat baik pada siswa maupun pada guru itu sendiri. Jangan sampai ucappan guru tidak sesuai dengan tindakannya. Kalau seorang guru mengatakan bahwa membuang sampah harus pada tempatnya kepada siswa siswinya, mka guru tersebut kalau buang sampah tidak
Oleh Majaputera Karniawan, Dalam kebudayaan Jawa, kita mengenal istilah âSabda pandita ratu, tan kena wola waliâ. Secara etimologi kata ini terdiri dari kata âSabdaâ yang berarti kata, petuah, ucapan dari seorang raja/pemimpin; Kata âPanditaâ adalah kata dalam Bahasa Sansekerta yang berarti âOrang yang arif bijaksanaâ; Kata âRatuâ sendiri dalam bahasa jawa berarti âIswaraâ, kata Iswara à€à€¶à„à€”à€° ÄȘĆvara dalam Bahasa Sansekerta masuk dalam ranah filsafat agama Hindu yang berarti pengendali atau penguasa. Bila dikesimpulkan, makna eksplisit dari Sabda Pandita Ratu adalah âPetuah dari penguasa yang arif/bijaksanaâ. Sedangkan kata âtan kena wola waliâ bisa diartikan sebagai tidak boleh plin plan mencla mencle. Artinya sebagai pucuk pimpinan tertinggi, harus memiliki satu buah pendirian yang kuat dan tidak boleh berubah-ubah. Bagaimana bila berubah-ubah? Tentu hal ini akan menyulitkan para pelaksana dalam menaati apa yang menjadi sabda petuah tersebut. Ambil kasus dalam kisah teks Ramayana. Di mana sang Maha-Rajadiraja dari Ayodyapura bernama Prabhu Dasarata yang memiliki tugas utama âksayanikangpapa nahan prayojanaâ menyirnakan kepapaan seluruh masyarakat yang dipimpin. Dikarenakan usia, beliau mulai mentransmisikan takhta kekuasaan pada generasi penerusnya. Saat itu ada beberapa putera mahkota dari 3 isteri Sang Prabhu, yakni 1 Ramawijaya putera dari Dewi Kausalya, 2 Bharata yang merupakan putera Dewi Kakayi, serta Laksamana dan Satrugna putera dari Dewi Sumitra. Pada mulanya keluar âSabda Pandita Ratuâ yang kedua, yakni Prabhu Dasarata menobatkan Ramawijaya sebagai penggantinya. Penobatan itu didukung oleh segenap pembesar kerajaan dan rakyat yang menyambutnya dengan gegap gempita. Pada mulanya semua pihak menerima, namun pelayan dari Dewi Kakayi yang bernama Mantara menghasut Sang Dewi agar meminta Prabhu Dasarata memberikan takhta kerajaan pada Bharata puteranya. Sebagai pengikat, Mantara meminta Dewi Kakayi mengingatkan Sang Prabhu dengan âSabda Pandita Ratuâ yang pertama, yakni janjinya akan menobatkan putranya dengan Dewi Kakayi sebagai Raja Ayodyapura. Hal ini ia sabdakan saat meminang Dewi Kakayi dahulu. Menghadapi dilematika demikian, Sang Prabhu dengan terpaksa âMelanggarâ Sabda Pandita Ratu yang kedua demi menuruti Sabda yang pertama. Meski pada akhirnya kedua Sabda itu tetap dijalankan Sri Ramawijaya yang pada akhirnya tetap menjadi penerus takhta kerajaan setelah mengalami masa pembuangan dengan segala insiden yang dideritanya sebelum kembali sebagai maharaja. Sebagai akibat dari tidak konsistennya keputusan Sabda sang Prabhu, dalam teks kisah Ramayana digambarkan Sang Prabhu Dasarata mendapatkan ganjaran berupa wafat karena tidak kuasa menanggung derita akan rasa bersalah, karena sebagai maharaja bersabda atas dasar tendensi subjektif diterima lamarannya oleh Dewi Kakayi. Dari kisah ini bisa kita tarik beberapa kesimpulan, di antaranya Seorang pemimpin harus membuat keputusan yang objektif demi kepentingan semua pihak, bukan hanya kepentingan kelompok atau individu tertentu. Seorang pemimpin harus membuat keputusan yang bebas dari tendensi dan teguh pada pendiriannya. Setiap keputusan seorang pemimpin, terlebih pemimpin negara, itu bersifat sakral dan tidak bisa sembarangan dalam mengeluarkannya. Seorang pemimpin harus mengeluarkan keputusan yang bijaksana. Karena apabila tidak bijaksana, hal ini akan berdampak pada setiap lapisan rakyat yang dipimpinnya, singkat kata kalau rajanya ngawur, wajar rakyanya sengsara dan nelangsa. Keputusan apapun yang telah diambil seorang pemimpin akan menjadi kewajiban titah bagi mereka yang dipimpinnya. Artinya pesan dan nilai dalam perintah tersebut akan menjadi kebenaran hukum bagi mereka dan wajib diimplementasikan. Maka dari itu, guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, seorang pemimpin harus mendapat pendampingan berupa pertimbangan kebijakan-strategis dari mereka yang ahli di bidangnya, sekaligus memiliki pribadi seorang pandita orang bijaksana. Semua ini demi terlaksananya pemerintahan dengan baik. Kepemimpinan memang tidaklah mudah, namun harus ada yang mengisi posisi sebagai pemimpin. Memilih seorang pemimpin tidak bisa sembarangan dan sebagai pemimpin yang terpilih tidak bisa sembarangan dalam bertindak apalagi sampai bertindak hanya demi diri/kelompoknya sendiri saja. Pemimpin memiliki tugas mengayomi dan membawa kemajuan peradaban baik di masa kini maupun di masa depan. Posisi strategik seorang pemimpin juga menyematkan kewajiban dan tanggung jawab yang tinggi, sehingga tidak bisa asal-asalan. Inilah kepemimpinan yang Adiluhung Berkualitas tinggi, bernilai penuh keluhuran. Meski begitu saat ini kita dihadapkan dengan era modern yang penuh disrupsi, perubahan sangat cepat dan dinamis. Setiap kebijakan yang diambil akan mengarahkan kemana dan bagaimana kelak nasib negeri atau organisasi/komunitas, dalam lini lebih kecil di masa depan. Celakanya adalah masih banyak mereka yang memilih pemimpin bukan atas dasar kapasitas dan kapabilitas. Melainkan karena dasar figur yang populis dan/atau memiliki pengaruh besar semata. Ambil contoh yang banyak beredar, seorang tokoh yang sudah kawakan dan memiliki banyak pengalaman dalam suatu bidang, akan dikalahkan dengan figur yang lebih populis dan/atau pengaruh besar semata Biasanya tipe mereka yang banyak menata kata namun tidak bisa berbuat banyak. Maka sering kali ada sosok figur populis tertentu diusungkan menjadi seorang pemimpin, hal ini bukan atas dasar kapasitas dan kapabilitas, melainkan karena figur ini banyak disukai para pemangku kepentingan semata, meskipun pada akhirnya akan membuat kebijakan yang tidak tepat sasaran, beban ini menjadi tanggungan semua lapisan warga yang dipimpinnya. Dari sini bisa kita lihat beberapa sudut pandang, bagi seorang pemimpin penunjukan sebagai figur âPandita Ratuâ adalah tanggung jawab pisau bermata dua, bila dijalankan dengan baik dan bijaksana membawa keberkahan, bila dijalankan dengan asal-asalan menjadi bencana bagi diri dan warganya. Sedangkan bagi rakyat dan para pemangku kepentingan yang akan dipimpin, menunjuk seseorang menjadi figur âPandita Ratuâ hendaknya atas dasar sikap pandita arif-bijaksana, kapasitas, dan kapabilitasnya! Bukan karena popularitasnya semata, karena bila salah memilih pemimpin, juga akan berimplikasi pada mereka yang dipimpin. Daftar Pustaka Diakses 7 Februari 2023. Diakses 7 Februari 2023. Pidada, Jelantik Sutanegara. Sabda Pandita Ratu. Diakses 7 Februari 2023. Diakses 7 Februari 2023.
Sabda pandita ratu, tan kena wola-wali." Kalimat tersebut adalah dasar dari dasar, inti dari inti pemerintahan Jawa. Jika diterjemahkan secara umum, kalimat tersebut berarti "sabda raja dan pemuka agama tidak boleh plin-plan." Falsafah yang dalam, teduh, namun kuat dan perkasa.
Dalam dunia orang Jawa kita mengenal adanya ungkapan etika yang berbunyi"Sabda pandhita ratu, tan kena wola - wali" dan "Berbudi Bawalaksana". Dalam pengartian bebas ungkapan Sabda pandhita ratu tan kena wola - wali dapat diartikan ucapan pendeta/raja, tidak boleh diulang dan berbudi bawalaksana dapat berarti mempunyai sifat teguh memegang janji, setia pada janji atau secara harafiah bawalaksana dapat juga diartikan satunya kata dan perbuatan. Dua ungkapan luhur, yang mengingatkan kepada setiap orang akan pentingnya Kesetiaan. Setia dengan apa yang telah dipilih, setia dengan apa yang diucapkan, dan dijanjikan seberapapun berat resiko yang harus ditanggung oleh pilihan itu. Dalam dunia pewayangan ada cukup banyak kisah yang melukiskan sikap tersebut. Salah satu contohnya adalah kisah saat prabu Dasarata akan mewariskan tahta kerajaan kepada keturunannya. Di ceritera prabu Dasarata mempunyai empat orang anak yaitu Rama, Bharata, Laksamana dan Satrugna. Dari keempat saudaranya, Rama adalah anak tertua yang dilahirkan oleh istri pertamanya yang bernama dewi Ragu atau dewi Sukasalya, paling pandai dan bijaksana juga berpengalaman. Maka sudah wajar jika kemudian prabu Dasarata meletakkan harapan, anaknya tertua tersebut kelak yang akan melanjutkan tahtanya. Namun ternyata ada satu hal penting yang telah dilupakan oleh prabu Dasarata bahwa ia pernah berjanji kepada istrinya yang lain yaitu dewi Kekeyi, bahwa dari keturunannyalah kelak tahta akan diwariskan. Diceritakan saat prabu Dasarata diingatkan oleh dewi Kekeyi menjadi sangat sedihlah hantinya. Hatinya hancur lebur oleh kesedihan. Sebagai raja yang besar, ia tahu tidak boleh mengingkari apa yang telah diucapkan/dijanjikan pada masa lalu. Tidak boleh! Betapapun beratnya. Maka dengan segala kesedihannya ia menyerahkan tahta kerajaan Ayodya kepada Bharata kemudian ia meninggal dalam kesedihannya itu. Selain kisah prabu Dasarata ada kisah - kisah lain yang menggambarkan situasi sulit oleh pilihan sikap tan keno wola - wali dan bawalaksana. Misalnya kisah prabu Sentanu Raja muda dari Astina yang memperistri seorang bidadari yaitu Dewi Gangga. Dewi Gangga bersedia menjadi istrinya dengan syarat prabu Sentanu tidak boleh mencampuri, apalagi mencegahnya apapun yang dia lakukan. Oleh karena keterikatan pada janji maka saat anaknya yang baru lahir dibuang selalu dibuang ke sungai Gangga, prabu Sentanu tidak dapat berbuat apa - apa. Ada banyak kisah lain misal Adipati Karno yang tetap membela Kurawa saat perang Baratayuda, walaupun ia tahu kurawa salah dan pandawa adalah adik tirinya. Karna terikat janji dengan Duryudana bahwa ia akan selalu membelanya. Dan masih banyak kisah lainnya. Ucapan atau janji memang berat. Maka setiap orang dituntut untuk selalu memikirkan secara jernih dan bijak apapun dan dalam situasi apapun sehingga setiap ucapan yang keluar dari mulut kita bijak pula. Ada ungkapan lain berbunyi "Orang yang dipegang adalah ucapannya". Artinya jelas, salah satu hal yang paling berharga dalam diri seseorang adalah ucapan. Seberharga apakah kita tergantung sejauh mana setiap ucapan yang keluar dari mulut kita menjadi kebenaran. Inilah sikap tan kena wola - wali dan bawalaksana. Satunya kata dan perbuatan.
Atasnasehat Ki Juru mertani, agar Pemanahan agar segera menghadap Sunan Kalijaga. Sunan Kali Jaga memberikan fatwa bahwa Sultan Hadiwijaya adalah benar, seorang raja harus konsisten, sabda pandita ratu tan kena wola wali. Sunan Kalijaga juga menasehati agar Ki Pemanahan menepati janji untuk tidak memberontak kepada Pajang.
Dalam dunia orang Jawa kita mengenal adanya ungkapan etika yang berbunyi "Sabda pandhita ratu, tan kena wola - wali" dan "Berbudi Bawalaksana". Dalam pengartian bebas ungkapan Sabda pandhita ratu tan kena wola - wali dapat diartikan ucapan pendeta/raja, tidak boleh diulang dan berbudi bawalaksana dapat berarti mempunyai sifat teguh memegang janji, setia pada janji atau secara harafiah bawalaksana dapat juga diartikan satunya kata dan perbuatan. Dua ungkapan luhur, yang mengingatkan kepada setiap orang akan pentingnya Kesetiaan. Setia dengan apa yang telah dipilih, setia dengan apa yang diucapkan, dan dijanjikan seberapapun berat resiko yang harus ditanggung oleh pilihan dunia pewayangan ada cukup banyak kisah yang melukiskan sikap tersebut. Salah satu contohnya adalah kisah saat prabu Dasarata akan mewariskan tahta kerajaan kepada keturunannya. Di ceritera prabu Dasarata mempunyai empat orang anak yaitu Rama, Bharata, Laksamana dan Satrugna. Dari keempat saudaranya, Rama adalah anak tertua yang dilahirkan oleh istri pertamanya yang bernama dewi Ragu atau dewi Sukasalya, paling pandai dan bijaksana juga berpengalaman. Maka sudah wajar jika kemudian prabu Dasarata meletakkan harapan, anaknya tertua tersebut kelak yang akan melanjutkan tahtanya. Namun ternyata ada satu hal penting yang telah dilupakan oleh prabu Dasarata bahwa ia pernah berjanji kepada istrinya yang lain yaitu dewi Kekeyi, bahwa dari keturunannyalah kelak tahta akan diwariskan. Diceritakan saat prabu Dasarata diingatkan oleh dewi Kekeyi menjadi sangat sedihlah hantinya. Hatinya hancur lebur oleh kesedihan. Sebagai raja yang besar, ia tahu tidak boleh mengingkari apa yang telah diucapkan/dijanjikan pada masa lalu. Tidak boleh! Betapapun beratnya. Maka dengan segala kesedihannya ia menyerahkan tahta kerajaan Ayodya kepada Bharata kemudian ia meninggal dalam kesedihannya kisah prabu Dasarata ada kisah - kisah lain yang menggambarkan situasi sulit oleh pilihan sikap tan keno wola - wali dan bawalaksana. Misalnya kisah prabu Sentanu Raja muda dari Astina yang memperistri seorang bidadari yaitu Dewi Gangga. Dewi Gangga bersedia menjadi istrinya dengan syarat prabu Sentanu tidak boleh mencampuri, apalagi mencegahnya apapun yang dia lakukan. Oleh karena keterikatan pada janji maka saat anaknya yang baru lahir dibuang selalu dibuang ke sungai Gangga, prabu Sentanu tidak dapat berbuat apa - apa. Ada banyak kisah lain misal Adipati Karno yang tetap membela Kurawa saat perang Baratayuda, walaupun ia tahu kurawa salah dan pandawa adalah adik tirinya. Karna terikat janji dengan Duryudana bahwa ia akan selalu membelanya. Dan masih banyak kisah atau janji memang berat. Maka setiap orang dituntut untuk selalu memikirkan secara jernih dan bijak apapun dan dalam situasi apapun sehingga setiap ucapan yang keluar dari mulut kita bijak pula. Ada ungkapan lain berbunyi "Orang yang dipegang adalah ucapannya". Artinya jelas, salah satu hal yang paling berharga dalam diri seseorang adalah ucapan. Seberharga apakah kita tergantung sejauh mana setiap ucapan yang keluar dari mulut kita menjadi kebenaran. Inilah sikap tan kena wola - wali dan bawalaksana. Satunya kata dan perbuatan. Cetak Halaman Ini
Harus"Sabda pandita ratu." Dalam etika Jawa dikenal satu ungkapan sabda pandhita ratu, "tan kena wola-wali," yang dapat dimaknai bahwa seorang pemimpin haruslah konsekuen untuk mewujudkan apa yang telah diucapkan. Kristalisasi perlunya pemimpin yang memiliki sifat bawa laksana.
Deklarasicapres Sultan Hamengku Buwono X pada 28 Oktober 2008 dinilainya bisa ditangkap sebagai 'sabda pandita ratu'."Sebagai sabda yang diucapkan raja, memang tidak boleh berubah-ubah. 'Tan kena wola-wali', artinya jika sabda itu untuk presiden, mengapa harus berubah menjadi wakil presiden wapres," terang Arwan.
ï»żDemimenjaga kewibawaannya, sabda pandita ratu tan kena wola-wali (sabda raja tidak boleh berubah-ubah), Drestarastra pantang mencopot Duryudana dari takhta. Sebagai gantinya, Pandawa diberi tanah Mertani, bagian wilayah Astina, untuk didirikan istana. Lahan Mertani ini berupa hutan gung liwang-liwung (angker).
15Sqni. 6wspjxnzoj.pages.dev/4796wspjxnzoj.pages.dev/2926wspjxnzoj.pages.dev/4876wspjxnzoj.pages.dev/646wspjxnzoj.pages.dev/1126wspjxnzoj.pages.dev/2146wspjxnzoj.pages.dev/326wspjxnzoj.pages.dev/2
sabda pandita ratu tan kena wola wali